BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kegiatan takhriij hadis dalam arti mencari hadis sampai
menemukannya dari berbagai sumber, telah muncul bersamaan dengan adanya
periwayatan hadis sejak masa Nabi. Sedangkan kegiatan takhriiji hadis
dalam arti mencari hadis sampai menemukan dari ktab-kitab hadis standar, baru
muncul setelah dibukukannya hadis itu secara resmi. Yakni, sekitar akhir abad
kedua atau awal abad ketiga Hijriyah. Dengan adanya kegiatan takhriij
hadis ini, melahirkan kitab-kitab hadis dan ilmu hadis secara terproses.
Dalam kaitannya dengan takhriij hadis, untuk
perealisasiannya cukup mengutip hadis-hadis dari berbagai kitab himpunan hadis
yang dapat dijadikan standar dengan bantuan kitab-kitab Mu’jam. Untuk
kepentingan penelitian lebih lanjut, upaya yang dilakukan adalah tetap mengacu
pada kaedah-kaedah ilmu hadis itu sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang tedapat pada makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
definisi takhriij hadis?
2.
Apa
tujuan takhriij hadis?
3. Apa
faedah dan manfaat adanya takhriij hadis?
4.
Bagaimana
metode-metode dalam takhriij hadis?
C.
Tujuan
Masalah
Adapun tujuan masalah yang terdapat pada makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk
mengetahui definisi takhriij hadis.
2.
Untuk
mengetahui tujuan takhriij hadis.
3.
Untuk
mengetahui faedah dan manfaat adanya takhriij hadis.
4.
Untuk
mengetahui metode-metode dalam takhriij hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Takhrij Hadis
Secara etimologi
kata “Takhrij” berasal dari akar kata
kharaja – yakhruju – khurujan mendapat
tambahan tasydid/syiddah pada ra (’ain fi’il) menjadi: kharraja – yukharriju – takhrijan yang
berarti menampakkan, mengeluarkan,
menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan.1 Maksudnya,
menampakkan sesuatu yang tidak atau sesuatu yang masih tersembunyi, tidak
kelihatan dan masih samar. Penampakan dan pengeluaran di sini tidak harus
berbentuk fisik yang konkret, tapi mencakup non fisik yang hanya memerlukan
tenaga dan pikiran seperti makna kata istikhraaj
yang diartikan istinbaath yang
berarti mengeluarkan hukum dari nash/ teks Al-Qur’an dan hadis.
Menurut istilah
ada beberapa definisi takhriij yang
dikemukakan oleh para ulama, diantaranya sebagai berikut:
1. Takhriij
menurut ulama hadis adalah:
ذِكْرُ المُؤَلِّفِ
الْحَدِيْثِ بِإِسْنَادِهِ
Penyebutan seorang
penyusun bahwa hadis itu dengan sanadnya terdapat dalam kitabnya.
Ulama
hadis pada umumnya berkata:
هَذَ الْحَدِيْثُ أَخْرَجَهُ
فُلاَنٌ
Hadis ini dengan
sanadnya disebutkan fulan dalam kitabnya.
Kata
akhrajahu dan kharrajahu maknanya sama atau ikhraajun
dan takhriijun maknanya juga
sama, yaitu sebagai mana makna takhriij di
atas.
Kata
kharrajahul Bukhaarii atau Akhrajahul Bukhaarii sama dengan
disebutkan oleh Al-Bukhari hadis itu
bersama sanadnya dalam kitabnya. Al-Bukhari sebagai orang yang melakukannya
disebut Mukharrij.
2. Arti
takhriij lain:
إِيْرَادُ المُؤَلِّفِ
أَحَاديْثَ كِتَابَ مَا بِأَسَانِيْدِ لِنَفْسِهِ يَلْتَقِيْ مَعَ مُؤَلِّفِ
أَلأَصْلِ فِي شَيْخِهِ أَوْ مَنْ فَوْقَهُ
Seorang penyusun
mendatangkan beberapa hadits dari sebuah kitab dengan menyebutkan sanadnya
sendiri, maka ia bertemu dengan penyusun asal pada syaikhnya (gurunya) atau
orang di atasnya.
Penyusun
kedua disebut Mustakhraj seperti
kitab:
مُسْتَخْرَجُ أَبِي عُوانَةَ
عَلَى صَحيْحِ مُسْلِمٍ
Maksud
ungkapan di atas, Muslim menyebutkan hadis-hadis dengan sanad-nya dalam kitabnya, kemudian Abu Uwanah datang mengeluarkan
hadis-hadis tersebut dengan menggunakan sanad-nya
sendiri, Abu Uwanah bertemu dengan Muslim pada gurunya, atau orang di atasnya
sampai dengan sahabat. Dengan demikian, takhriij
dan istikhraaj maknanya sama
sebagaimana di atas. Demikian juga kitab Al-Mustakhraj
‘ala al-Bukhaarii yang ditulis oleh Abu Bakar Al-Isma’ili. Maknanya hadis
itu disebutkan oleh Al-Bukhari dengan sanad-nya
dalam kitabnya, kemudian dikeluarkannya oleh Abu Bakar Al-Isma’ili dengan
menggunakan sanad sendiri. Maka ada
pertemuan antara dua orang tersebut pada gurunya atau orang di atasnya, yaitu
gurunya guru dan seterusnya sampai dengan sahabat. Maksud dari Mustakhraj ini untuk memperkuat sanad dan tambahan pada matan.
3. Takhriij adalah:
عَزْوُ
الأَحَاديْثِ إلَى الْكُتُبِ المَوْجُوْدَةِ فِيْهَا مَعَ بَيَانِ الحُكْمِ
عَلَيْهَا
Menunjukkan
asal beberapa hadis pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadis) dengan
menerangkan hukum/ kualitasnya.
Definisi pertama
dilakukan oleh penyusunnya atau orang lain yang ingin menyebutkan sumber
pengambilan suatu hadis, seperti diberbagai buku hadis atau syarah-nya. Misalnya seseorang yang
mengutip sebuah hadis dari kitab Al-Bukhari mengatakan pada awal atau akhir
penukilan: Akhrajahul Bukhaaraa, yang
berarti hadis di-takhriij oleh
Al-Bukhari dan seterusnya. Atau untuk menyatakan perawi suatu hadis dikatakan
dengan kata: Rawaahul Bukhaaraa (hadis
diriwayatkan oleh Al-Bukhari). Defenisi kedua sudah langka dilakukan orang pada
era sekarang, karena menyangkut keterbatasan dan kemampuan para ahli hadis,
disamping keterputusan predikat sebagai
periwayat hadis. Kecuali dilakukan sesama Muhaddits
atau Thaalib Al-Hadits dalam arti
yang sederhana. Sekarang definisi ketiga masih terbuka lebar kesempatan bagi
para peneliti hadis untuk mengadakan penelusuran dari sumber aslinya, atau dari
buku induk hadis untuk diteliti sanad dan
matan-nya sesuai dengan kaidah-kaidah
ilmu hadis riwaayah dan diraayah, sehingga dapat menemukan
temuan baru atau temuan yang sama dengan peneliti lain tentang kualitas suatu
hadis.
Berbicara
tentang takhriij sebagaimana beberapa
definisi di atas, tentunya sangat erat kaitannya dengan penelitian hadis, baik
penelitian awal maupun ulama salaf yang kemudian hasilnya telah dikodifikasikan
dala berbagai buku hadis. Penyebutan semakin banyak hadis yang disertai sanad-nya dan keterangan kualitasnya adalah hasil penelitian ulama
salaf. Kemudian ulama khalaf berkesampatan pula untuk mencari hadis yang belum
dikodifikasikan sebagai pelengkap atau takhriij/meneliti
kembali (back research) hasil tkhriij mereka, atau bagian-bagian yang
belum selesai dianalisis mereka.
B. Tujuan Takhriij
Dalam
melakukan takhriij tentunya ada
tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pokok dari takhriij yang ingin dicapai seorang peneliti adalah sebagai
berikut.
1. Mengetahui
eksistensi suatu hadis apakah benar suatu hadis yang ingin diteliti terdapat
dalam buku-buku hadis atau tidak.
2. Mengetahui
sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja yang didapatkan.
3. Mengetahui
ada beberapa tempat hadis tersebut dengan sanad
yang berbeda di dalam sebuah buku hadis atau dalam beberapa buku induk hadis.
4. Mengetahui
kualitas hadis (maqbuul/diterima atau
marduud/tertolak).2
C. Faedah dan Manfaat Takhriij
Faedah
dan manfaat takhriij cukup banyak, di
antaranya yang dapat dipetik oleh yang melakukannya adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui
referensi beberapa buku hadis. Dengan takhriij,
seseorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadis yang diteliti dan di
dalam kitab hadis apa saja hadis tersebut didapatkan.
2. Menghimpun
sejumlah sanad hadis. Dengan takhriij, seseorang dapat menemukan
sebuah hadis yang akan diteliti di sebuah atau beberapa buku induk hadis.
Misalnya terkadang di beberapa tempat di dalam kitab Al-Bukhari saja, atau di
dalam kitab-kitab lain. Dengan demikian, ia akan menghimpun sejumlah sanad.
3. Mengetahui
keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’), dan mengetahui kadar
kemampuan perawi dalam mengingat hadis serta kejujuran dalam periwatannya.
4. Mengetahui
status suatu hadis. Terkadang ditemukan sanad
suatu hadis dha’if, tetapi melalui sanad lain hukumnya shahih.
5. Meningkatkan
suatu hadis yang dha’if menjadi hasan li ghayrihi karena
adanya dukungan sanad lain yang
seimbang atau lebih tinggi kualitasnya. Atau meningkatnya hadis hasan menjadi shahih li gayrihi dengan ditemukannya sanad lain yang seimbang atu
lebih tinggi kualitasnya.
6. Mengetahui
bagaimana para imam hadis menilai suatu kualitas hadis dan bagaimana kritikan
yang disampaikan.
7. Seseorang
yang melakukan takhriij dapat
menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadis.
D. Metode Takhriij
Sebelum
seseorang melakukan takhriij suatu
hadis, terlebih dahulu ia harus menetahui metode takhrij sehingga akan mendapatkan kemudahan. Karena banyak teknik dalam
pengodifikasian buku hadis, sangat diperlukan beberapa metode takhrij
yang
sesuai dengan buku hadis yang diteliti. Ada 5 metode takhrij dalam arti
penelusuran hadis dari sumber buku hadis, yaitu:
1.
Takhrij dengan Kata (Takhrij
bi Al-Lafzhi)
Pada metode takhrij ini,
penelusuran hadis melalui lafal matan hadis, baik dari permulaan,
pertengahan, atau akhiran. Maksud takhrij dengan kata adalah takhrij dengan
kata benda (kalimah isim) atau kata kerja (kalimah fiil), bukan kata
sambung (kalimah huruf) dalam bahasa Arab yang mempunyai asala akar kata
3 huruf. Kata itu diambil dari salah satu bagian dari teks hadis yang mana saja
selain kata sambung (kalimah hhuruf), kemudian dicari akar kata akar
kata dalam bahasa Arab yang hanya 3 kata: مُسْلِمٌ misalnya, maka harus dicari asal akar katanya,
yaitu dari kata: سَلِمَ setelah itu baru membuka kamus bab س bukan bab م.
Kamus yang diperlukan metode takhrij adalah Kamus Al-Mu’jam
Al-Mufahras li Alfaazhi Al-Hadits An-Nabawi yang terdiri dari 8 jilid disusun oleh tim
orientalis, salah satunya adalah Arnold John Wensinck (w. 1939 M), Profesor
bahasa-bahasa Semit termasuk bahasa Arab di Lieden, Belanda. Untuk kegiatan takhrij dalam arti
kegiatan penelusuran hadis dapat diketahui melalui periwayatan dalam
kitab-kitab yang ditunjukkan. Lafal-lafal hadis yang dimuat dalam Al-Mu’jam ini
bereferensi pada kitab induk hadis sebanyak 9 kitab, yaitu sebagai berikut:
a. Shahih Al-Bukhari dengan diberi lambang:خ
b. Shahih Muslim dengan lambang:م
c. Sunan Abu Daud dengan lambang:د
d. Sunan At-Tarmidzi dengan lambang:ت
e. Sunan An-Nasaai dengan lambang:ن
f. Sunan Ibnu Majah dengan lambang:جه
g. Sunan Ad-Darimi dengan lambang:دي
h. Muwatha’ Malik dengan lambang: ط
i.
Musnad
Ahmad dengan lambang: حم
Contoh hadis yang
ingin di-takhrij adalah:
لا تَدْخُلُونَ
الجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَبُّؤا
Pada penggalan
teks di atas dapat ditelusuri melalui kata-kata yang digaris bawahi. Andaikata
dari kata تَحَبُّؤا dapat
dilihat di bab
ح dalam kitab Al-Mu’jam karena itu
berasal dari kata حَبَّب. Setelah ditelusuri kata tersebut dapat ditemukan di Al-Mu’jam
jiz 1 hlm. 408
dengan bunyi:
م إيمان 93، د أدب 131، ت صفة
القيامة 54، استئذان 1، جه مقدمة 9، أدب 11، حم 1، 165.
Maksud dari ungkapan di atas adalah:
·
م
إيمان 93 = Shahih Muslim kitab imannomor
urut 93.
·
د
أدب 131 = Sunan Abu Daud dalam kitab Al-Adab nomor urut 131.
·
ت
صفة القيامة 54، استئذان 1
= Sunan At-Tarmidzi dalam
kitab sifah al-qiyaamah nomor urut bab 54 dalam kitab isti’dzan nomor urut bab 1.
·
جه
مقدمة 9، أدب 11 = Sunan Ibnu Majah
dalam kitab muqaddimah nomor urut bab 9 dan kitab Al-Adab nomor
urut bab 11.
·
حم
1، 165 = Musnad
Imam Ahmad bin Hambal jiz 1 hlm. 165.
Metode takhrij
dengan lafal ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Diantara kelebihannya
adalah hadis dapat dicari melalui kata mana saja yang diingat peneliti, tidak
harus lafal seluruhnya dan dalam waktu relatif singkat seorang peneliti akan menemukan hadis yang dicari dalam
beberapa kitab hadis. Sedangkan di antara kesulitannya adalah seseorang
peneliti harus menguasai ilmu sharaf tentang asal-usul suatu kata.
2. Takhrij dengan tema (Takhrij bi Al-Mawdhu’)
Arti takhrij kedua ini adalah
penelusura hadis yang didasarkan pada topik (mawdhu’), misalnya bab
Al-Khaatam, Al-Khaadim, Al-Ghusl, Adh-Dhahiyah, dan lain-lain. Seorang
peneliti hendaknya mengetahui topik suatu hadis krmudian ditelusuri melalui
kamus hadis tematik. Salah satu kamus hadis tematik adalah Miftah min Kunuuz
As-Sunnah oleh Dr. Fuad Abdul Baqi, terjemahan dari aslinya berbahasa
Inggris A Handbook of Early Muhammadan karya A. J. Wensink pula. Dalam
kamus ini ditemukan berbagai topik, baik yang berkenaan dengan
petunjuk-petunjuk Rasulullah maupun berkaitan dengan nama. Untuk setiap topik
biasanya disertakan subtopik dan untuk setiap subtopik dikemukakan data hadis
dan kitab yang menjelaskannya.
3. Takhriij dengan Permulaan Matan (Bi Awwal Al-Matan)
Takhriij menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya, misalnya
awal suatu matan dimulai dengan huruf mim maka dicari pada bab mim,
jika di awali dengan huruf ba maka di cari pada bab ba, dan
seterusnya.
Diantara kelebihan metode ini adalah
dapat menemukan hadis yang dicari dengan cepat dan mendapatkan hadisnya secara
utuh dan keseluruhan, tidak penggalan saja sebagaimana metode-metode
sebelumnya. Akan tetapi, kesulitannya bagi seseorang yang tidak ingat permulaan
hadits. Khawatir hadist yang diingat itu sebenarnya penggalan dari pertengahan
atau akhiran hadits, bukan permulaannya.
4.
Takhriij Melalui
Perawih yang Paling Atas (Bi Ar-Raawi Al-A’laa)
Takhriij ini menelusuri hadits melalui perawi yang paling atas dalam sanad,
yaitu dikalangan sahabat (muttashil isnaad) atau taabi’in (dalam
hadist mursal). Artinya, peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa
sanad-nya di kalangan sahabat atau taabi’in, kemudian dicari
dalam buku hadis Musnad atau Al-Athraaf. Di antara kitab yang
digunakan dalam metode ini adalah kitab Musnad atau Al-Athraaf.
Seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Tuhfat Al-Asyraf bi Ma’rifat Al-Athraaf karya Al-Mizz, dan lain-lain.
Kitab Musnad adalah
pengodifikasian hadis yang sistematikannya didasarkan pada nama-nama sahabat
atau nama-nama taabi’in sesuai dengan urutan sifat tertentu. Adapun Al-Athraaf
adalah kitab hadis yang menghimpun beberapa hadisnya para sahabat atau taabi’in
sesuai dengan urutan alphabet Arab dengan menyebutkan sebagian dari lafal
hadis.
Cukup banyak kitab Musnad pada
awal abad kedua Hijriyah, di antaranya yang sangat populer adalah Musnad
Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Sesuai dengan masa perkembangannya dan latar
belakang penulisannya agar mudah dihafal, beberapa hadis dikelompokkan
berdasarkan pada sahabat yang meriwayatkannya. Kitab ini memuat 30.000 hadis,
sebagian pendapat 40.000 buah hadis secara terulang-ulang (mukarrar)
sebanyak 6 jilid besar. Sistematikanya tidak disesuaikan dengan urutan alphabet
Arab, tetapi didasarkan pada sifat-sifat tertentu, yaitu pertama sepuluh orang
sahabat Nabi yang digembirakan surga, kemudian musnad sahabat empat, musnad
sahabat ahli bait, musnad sahabt-sahabat yang populer, musnad
sahabat yang dari Mekkah (Al-Makkiyyiin), dari Syam (Asy-Syaamiyyiin),
dari Kufah, Bashrah, sahabat Anshar, sahabat wanita, dan dari Abu Ad-Darda.
Diantara kelebihan metode takhriij
ini adalah memberikan informasi kedekatan pembaca dengan pen-takhriij
hadis dan kitabnya. Berbeda dengan metode-metode lain yang hanya memberikan
informasi kedekatan dengan pen-takriij saja tanpa kitabnya. Sedangkan
kesulitan yang dihadapi adalah jika seorang peneliti tidak ingat atau tidak
tahu nama sahabat atau tabi’in yang meriwayatkannya, di samping
campurnya berbagai masalah dalam satu bab dan tidak terfokus pada satu masalah.
5.
Takhriij dengan Sifat (Bi
Ash-Shifah)
Telah banyak disebutkan sebagaimana
pembahasan di atas tentang metode takhriij. Seseorang dapat memilih
metode mana yang tepat untuk ditentukannya sesuai dengan kondisi orang
tersebut. Jika suatu hadis sudah dapat diketahui sifatnya, misalnya Mawdhu’,
Shahih, Qudsi, Mursal, Masyhur, Mutawatir, dan lain-lain sebaiknya di-takhrij
melalui kitab-kitab yang telah menghimpun sifat-sifat tersebut. Misalnya hadis maudhu’
akan lebih mudah di-takhriij melalui buku-buku himpunan hadis maudhu’
seperti Al-Maudhuu’at karya Ibnu Al-Jauzi, mencari hadis mutawatir
takhrij-lah melalui kitab Al-Azhar Al-Mutanaatsirah ‘an Al-Akhbaar
Al-Muawaatirah, karya As-Suyuthi, dan lain-lain. Di sana seseorang akan
mendapatkan informasi tentang kedudukan suatu hadis, kualitasnya, sifat-sifatnya,
dan lain-lain terutama dapat dilengkapi dengan kitab-kitab syarah-nya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Adapun simpulan yang terdapat pada makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Secara etimologi
kata “Takhrij” berasal dari akar kata
kharaja – yakhruju – khurujan mendapat
tambahan tasydid/syiddah pada ra (’ain fi’il) menjadi: kharraja – yukharriju – takhrijan yang
berarti menampakkan, mengeluarkan,
menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan.
2.
Tujuan pokok
dari takhriij yang ingin dicapai
seorang peneliti adalah sebagai berikut: Mengetahui eksistensi suatu hadis
apakah benar suatu hadis yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadis
atau tidak; Mengetahui sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja yang
didapatkan; Mengetahui ada beberapa tempat hadis tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku
hadis atau dalam beberapa buku induk hadis; Mengetahui kualitas hadis.
3.
Faedah dan
manfaat takhriij cukup banyak, di
antaranya yang dapat dipetik oleh yang melakukannya adalah sebagai berikut:
a.
Mengetahui
referensi beberapa buku hadis.
b.
Menghimpun
sejumlah sanad hadis.
c.
Mengetahui
keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’)
d. Mengetahui
bagaimana para imam hadis menilai suatu kualitas hadis dan bagaimana kritikan
yang disampaikan.
e.
Mengetahui
status suatu hadis.
4.
Ada
4 macam metode dalam men-takhriij hadist, yaitu:
a.
Takhrij dengan kata
b.
Takhrij dengan tema
c.
Takhrij dengan permulaan matan
d.
Takhrij melalui perawih yang paling atas
B.
Saran
Dalam makalah ini, masih terdapat kekurangan dan kekeliruan baik
dalam struktur kata/kalimat maupun dari penulisan dan tata letak. Oleh karena
itu, kritik dan saran kami butuhkan guna untuk perbaikan berikutnya.
Untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam mengenai takhriij hadis,
maka kami sarankan untuk membaca literatur dan beberapa referensi untuk
menambah wawasan tentang materi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis. Ed. Revisi. Jakarta: Amzah. 2012.
Darul S. Puyu. Metode Takhrij Al-Hadis Menurut Kosa Kata,
Tematik dan CD Hadis. Makassar: Alauddin University Press. 2012.