Senin, 30 Desember 2013

Pengaruh Faktor Warisan (Genetik) dan Lingkungan dalam Pandangan Islam


A.      Pengertian Genetik
Genetika adalah salah satu cabang penting dalam Biologi masa kini. Ilmu ini mempelajari pewarisan sifat yang dimiliki satu individu ke individu lainnya. Bidang kajian genetika dimulai dari molekul hingga populasi. Secara umum, genetika berusaha menjelaskan bagaimana informasi itu ditransmisikan dari suatu individu ke individu yang lain.
Genetika disebut juga ilmu keturunan, berasal dari kata genos (bahasa latin), artinya suku bangsa-bangsa atau asal-usul. Secara “Etimologi”kata genetika berasal dari kata genos dalam bahasa latin, yang berarti asal mula kejadian. Namun, genetika bukanlah ilmu tentang asal mula kejadian meskipun pada batas-batas tertentu memang ada kaitannya dengan hal itu juga. Genetika adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk alih informasi hayati dari generasi kegenerasi. Oleh karena cara berlangsungnya alih informasi hayati tersebut mendasari adanya perbedaan dan persamaan sifat diantara individu organisme, maka dengan singkat dapat pula dikatakan bahwa genetika adalah ilmu tentang pewarisan sifat. Dalam ilmu ini dipelajari bagaimana sifat keturunan (hereditas) itu diwariskan kepada anak cucu, serta variasi yang mungkin timbul didalamnya. Namun, bahan sifat keturunan itu tidaklah bersifat baka. Selalu mengalami perubahan, berangsur atau mendadak. Seluruh makluk bumi mengalami evolusi termasuk manusia. Evolusi itu terjadi karena perubahan bahan sifat keturunan, dan dilaksanakan oleh seleksi alam.
B.       Pengaruh Faktor Genetik pada Pendidikan dalam  Pandangan Islam
Pertumbuhan setiap indivividu sudah terprogam sejak masa konsepsi yang dipengaruhi oleh faktor genetis. Perubahan panjang, tinggi, berat badan bayi akan terjadi secara otomatis karena pengaruh genetika (keturunan). Faktor keturunan lebih menekankan pada aspek biologis atau herediter yang dibawa melalui aliran darah dalam kromosom. Faktor genetis cenderung bersifat statis dan merupakan predisposisi untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Kalau sejak awal orang tua memiliki karakteristik fisiologis yang sehat, maka akan menurunkan generasi yang sehat pula. Sebaiknya bila orang tua tidak sehat, maka keturunanya pun akan mengalami gangguan atau penyimpangan secara fisik atau psikis (Papalia, Old & Fieldman, 1998: 2004).
Menurut Mansyur Ali Rajab menyebutkan bahwa ada lima macam yang dapat diwariskan dari orang tua kepada anaknya, yaitu : pertama warisan yang bersifat jasmaniah seperti warna kulit, bentuk tubuh yang jangkung atau cebol, sifat rambut dan sebagainya kedua pewarisan yang bersifat intelektual, seperti kecerdasan dan kebodohan, ketiga pewarisan yang bersifat tingkah laku, seperti tingkah laku terpuji atau tercela, lemah lembut, atau keras kepala, taat atau durhaka, keempat pewarisan yang bersifat alamiah, yaitu pewarisan internal yang dibawa sejak kelahiran anak tanpa pengaruh dari faktor eksternal, kelima pewarisan yang bersifat sosilogis, yaitu pewarisan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Dalam al-Qur’an proses ini dikatakan sebagai proses nutfah amsyaj, pencampuran sperma dan ovum, yang masing-masing memiliki 46 kromosom21, sebagaimana firman Allah surat al-Insaan ayat : 2
إنَّا خلقنا الإنسان من نطفةٍ أمشاجٍ نَبْتَليهِ فجعَلناه سميعا بصيرا
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat". (Al-Insaan : 2)
C.      Pengaruh Lingkungan pada Pendidikan dalam  Pandangan Islam
Selain faktor genetik sebagai faktor yang berpengaruh, juga terdapat faktor lainnya yang sangat bekerja aktif pada diri manusia, diantara yang terpenting adalah: pendidikan, kondisi keluarga, masyarakat, ekonomi, budaya, makanan, udara, iklim dan sebagainya. Dari faktor-faktor tersebut dapat disingkat dengan sebuah kata, yaitu: lingkungan.
Oleh karenanya, pengaruh sifat perubahan lingkungan yang ada pada diri manusia ada dua bentuk pemisalan:
1.    Sifat dan kriteria yang nampak dalam bentuk kemampuan dan kesiapan manusia, seperti:  penyakit TBC, seorang anak  yang dilahirkan dari orang tua yang berpenyakit demikian, akan berpotensi pula akan terserang penyakit tersebut. Akan tetapi jika anak tersebut sudah dipisahkan sejak lahirnya dan dipindahkan ke lingkungan yang sehat, maka memperoleh kesehatannya.
2.    Anak yang dilahirkan melalui asal usul genetik yang baik, maka perkembangan anak tersebut nantinya akan beradaptasi dengan lingkungan dimana ia tinggal. Jika ia tinggal dalam lingkungan yang kurang mendukung, maka kemampuannya pun akan pudar. Begitu juga sebagai sesuatu yang mungkin melalui pengaruh iklim dan makanan dapat merubah kondisi badan bagi manusia. Sebagaimana akhlak dan adat setempat dalam sebuah lingkungan akan membuat perubahan pada tingkatan ruh dan kejiwaan manusia.
Lingkungan memiliki peran yang besar bagi perubahan yang positif atau negatif pada individu. Lingkungan yang baik tentu akan membawa pengaruh positif bagi individu, sebaliknya lingkungan yang kurang baik akan cenderung memperburuk perkembangan individu.
Seorang psikolog ekologis, Urie Brofenbrenner (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menyatakan bahwa lingkungan tersebut bersifat stratifikasi yakni berlapis-lapis dari yang terdekat sampai yang terjauh. Pengaruh lingkungan menjadi lebih kuat pada periode sensitif. Masing-masing pertumbuhan system organ atau anggota tubuh memiliki periode sensitif yang rentan terhadap pengaruh lingkungan.
Pengaruh lingkungan juga tak kalah penting sebagaimana Nabi SAW menerangkan bagaimana pengaruh orangtua terhadap agama, moral dan psikologi umum dari sosialisasi dan perkembangan anak-anak mereka, yaitu :
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ...
Artinya : Tiadalah seorang anak itu dilahirkan kecuali dalam keadaan suci, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi….(HR. al-Bukhary)
Setiap anak terlahir dengan kesiapan fitrah untuk menganut agama yang benar, hanya saja kedua orangtuanya yang mempengaruhi anak dan mengarahkannya pada agama lain, karenanya maka Nabi Saw berwasiat :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya :  “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya karena jika tidak binasalah kedua tanganmu”. (HR. al-Bukhary).
Dalam bentuk metaforik, Nabi Saw. mengingatkan kita bagaimana persahabatan yang baik dapat mempengaruhi karakter seseorang menjadi baik begitu pula sebaliknya, seperti sabda beliau :
حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا أَبُو بُرْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا بُرْدَةَ بْنَ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ لَا يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
Artinya : Persamaan teman yang baik dan teman yang buruk seperti pedagang minyak kesturi dan peniup api tukang besi. Si pedagang minyak kesturi mungkin akan memberinya kepadamu atau engkau membeli kepadanya atau setidaknya engkau dapat memperoleh bau yang harum darinya, tapi si peniup api tukang besi mungkin akan membuat pakaianmu terbakar atau mungkin engkau akan mendapat bau yang tidak sedap darinya (HR. al-Bukhary).

Takhrijul Hadits

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kegiatan takhriij hadis dalam arti mencari hadis sampai menemukannya dari berbagai sumber, telah muncul bersamaan dengan adanya periwayatan hadis sejak masa Nabi. Sedangkan kegiatan takhriiji hadis dalam arti mencari hadis sampai menemukan dari ktab-kitab hadis standar, baru muncul setelah dibukukannya hadis itu secara resmi. Yakni, sekitar akhir abad kedua atau awal abad ketiga Hijriyah. Dengan adanya kegiatan takhriij hadis ini, melahirkan kitab-kitab hadis dan ilmu hadis secara terproses.
Dalam kaitannya dengan takhriij hadis, untuk perealisasiannya cukup mengutip hadis-hadis dari berbagai kitab himpunan hadis yang dapat dijadikan standar dengan bantuan kitab-kitab Mu’jam. Untuk kepentingan penelitian lebih lanjut, upaya yang dilakukan adalah tetap mengacu pada kaedah-kaedah ilmu hadis itu sendiri.
B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang tedapat pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana definisi takhriij hadis?
2.      Apa tujuan takhriij hadis?
3.      Apa faedah dan manfaat adanya takhriij hadis?
4.      Bagaimana metode-metode dalam takhriij hadis?

C.       Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah yang terdapat pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui definisi takhriij hadis.
2.      Untuk mengetahui tujuan takhriij hadis.
3.      Untuk mengetahui faedah dan manfaat adanya takhriij hadis.
4.      Untuk mengetahui metode-metode dalam takhriij hadis.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Defenisi Takhrij Hadis
Secara etimologi kata “Takhrij” berasal dari akar kata kharaja – yakhruju – khurujan mendapat tambahan tasydid/syiddah pada ra (’ain fi’il) menjadi: kharraja – yukharriju – takhrijan yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan.1 Maksudnya, menampakkan sesuatu yang tidak atau sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar. Penampakan dan pengeluaran di sini tidak harus berbentuk fisik yang konkret, tapi mencakup non fisik yang hanya memerlukan tenaga dan pikiran seperti makna kata istikhraaj yang diartikan istinbaath yang berarti mengeluarkan hukum dari nash/ teks Al-Qur’an dan hadis.
Menurut istilah ada beberapa definisi takhriij yang dikemukakan oleh para ulama, diantaranya sebagai berikut:
1.      Takhriij menurut ulama hadis adalah:
ذِكْرُ المُؤَلِّفِ الْحَدِيْثِ بِإِسْنَادِهِ
Penyebutan seorang penyusun bahwa hadis itu dengan sanadnya terdapat dalam kitabnya.
Ulama hadis pada umumnya berkata:
هَذَ الْحَدِيْثُ أَخْرَجَهُ فُلاَنٌ
Hadis ini dengan sanadnya disebutkan fulan dalam kitabnya.
Kata akhrajahu dan kharrajahu maknanya sama atau ikhraajun dan takhriijun maknanya juga sama, yaitu sebagai mana makna takhriij di atas.
Kata kharrajahul Bukhaarii atau Akhrajahul Bukhaarii sama dengan disebutkan oleh Al-Bukhari hadis itu bersama sanadnya dalam kitabnya. Al-Bukhari sebagai orang yang melakukannya disebut Mukharrij.
2.      Arti takhriij lain:
إِيْرَادُ المُؤَلِّفِ أَحَاديْثَ كِتَابَ مَا بِأَسَانِيْدِ لِنَفْسِهِ يَلْتَقِيْ مَعَ مُؤَلِّفِ أَلأَصْلِ فِي شَيْخِهِ أَوْ مَنْ فَوْقَهُ
Seorang penyusun mendatangkan beberapa hadits dari sebuah kitab dengan menyebutkan sanadnya sendiri, maka ia bertemu dengan penyusun asal pada syaikhnya (gurunya) atau orang di atasnya.
Penyusun kedua disebut Mustakhraj seperti kitab:
مُسْتَخْرَجُ أَبِي عُوانَةَ عَلَى صَحيْحِ مُسْلِمٍ
Maksud ungkapan di atas, Muslim menyebutkan hadis-hadis dengan sanad-nya dalam kitabnya, kemudian Abu Uwanah datang mengeluarkan hadis-hadis tersebut dengan menggunakan sanad-nya sendiri, Abu Uwanah bertemu dengan Muslim pada gurunya, atau orang di atasnya sampai dengan sahabat. Dengan demikian, takhriij dan istikhraaj maknanya sama sebagaimana di atas. Demikian juga kitab Al-Mustakhraj ‘ala al-Bukhaarii yang ditulis oleh Abu Bakar Al-Isma’ili. Maknanya hadis itu disebutkan oleh Al-Bukhari dengan sanad-nya dalam kitabnya, kemudian dikeluarkannya oleh Abu Bakar Al-Isma’ili dengan menggunakan sanad sendiri. Maka ada pertemuan antara dua orang tersebut pada gurunya atau orang di atasnya, yaitu gurunya guru dan seterusnya sampai dengan sahabat. Maksud dari Mustakhraj ini untuk memperkuat sanad dan tambahan pada matan.
3.      Takhriij adalah:
عَزْوُ الأَحَاديْثِ إلَى الْكُتُبِ المَوْجُوْدَةِ فِيْهَا مَعَ بَيَانِ الحُكْمِ عَلَيْهَا
Menunjukkan asal beberapa hadis pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadis) dengan menerangkan hukum/ kualitasnya.
Definisi pertama dilakukan oleh penyusunnya atau orang lain yang ingin menyebutkan sumber pengambilan suatu hadis, seperti diberbagai buku hadis atau syarah-nya. Misalnya seseorang yang mengutip sebuah hadis dari kitab Al-Bukhari mengatakan pada awal atau akhir penukilan: Akhrajahul Bukhaaraa, yang berarti hadis di-takhriij oleh Al-Bukhari dan seterusnya. Atau untuk menyatakan perawi suatu hadis dikatakan dengan kata: Rawaahul Bukhaaraa (hadis diriwayatkan oleh Al-Bukhari). Defenisi kedua sudah langka dilakukan orang pada era sekarang, karena menyangkut keterbatasan dan kemampuan para ahli hadis, disamping keterputusan predikat  sebagai periwayat hadis. Kecuali dilakukan sesama Muhaddits atau Thaalib Al-Hadits dalam arti yang sederhana. Sekarang definisi ketiga masih terbuka lebar kesempatan bagi para peneliti hadis untuk mengadakan penelusuran dari sumber aslinya, atau dari buku induk hadis untuk diteliti sanad dan matan-nya sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadis riwaayah dan diraayah, sehingga dapat menemukan temuan baru atau temuan yang sama dengan peneliti lain tentang kualitas suatu hadis.
Berbicara tentang takhriij sebagaimana beberapa definisi di atas, tentunya sangat erat kaitannya dengan penelitian hadis, baik penelitian awal maupun ulama salaf yang kemudian hasilnya telah dikodifikasikan dala berbagai buku hadis. Penyebutan semakin banyak  hadis yang disertai sanad-nya dan keterangan kualitasnya adalah hasil penelitian ulama salaf. Kemudian ulama khalaf berkesampatan pula untuk mencari hadis yang belum dikodifikasikan sebagai pelengkap atau takhriij/meneliti kembali (back research) hasil tkhriij mereka, atau bagian-bagian yang belum selesai dianalisis mereka.

B.       Tujuan Takhriij
Dalam melakukan takhriij tentunya ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pokok dari takhriij yang ingin dicapai seorang peneliti adalah sebagai berikut.
1.      Mengetahui eksistensi suatu hadis apakah benar suatu hadis yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadis atau tidak.
2.      Mengetahui sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja yang didapatkan.
3.      Mengetahui ada beberapa tempat hadis tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku hadis atau dalam beberapa buku induk hadis.
4.      Mengetahui kualitas hadis (maqbuul/diterima atau marduud/tertolak).2

C.      Faedah dan Manfaat Takhriij
Faedah dan manfaat takhriij cukup banyak, di antaranya yang dapat dipetik oleh yang melakukannya adalah sebagai berikut.
1.      Mengetahui referensi beberapa buku hadis. Dengan takhriij, seseorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadis yang diteliti dan di dalam kitab hadis apa saja hadis tersebut didapatkan.
2.      Menghimpun sejumlah sanad hadis. Dengan takhriij, seseorang dapat menemukan sebuah hadis yang akan diteliti di sebuah atau beberapa buku induk hadis. Misalnya terkadang di beberapa tempat di dalam kitab Al-Bukhari saja, atau di dalam kitab-kitab lain. Dengan demikian, ia akan menghimpun sejumlah sanad.
3.      Mengetahui keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’), dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadis serta kejujuran dalam periwatannya.
4.      Mengetahui status suatu hadis. Terkadang ditemukan sanad suatu hadis dha’if, tetapi melalui sanad lain hukumnya shahih.
5.      Meningkatkan suatu hadis yang dha’if  menjadi hasan li ghayrihi karena adanya dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya. Atau meningkatnya hadis hasan menjadi shahih li gayrihi dengan ditemukannya sanad lain yang seimbang  atu lebih tinggi kualitasnya.
6.      Mengetahui bagaimana para imam hadis menilai suatu kualitas hadis dan bagaimana kritikan yang disampaikan.
7.      Seseorang yang melakukan takhriij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadis.
D.      Metode Takhriij
Sebelum seseorang melakukan takhriij suatu hadis, terlebih dahulu ia harus menetahui metode takhrij sehingga akan mendapatkan kemudahan. Karena banyak teknik dalam pengodifikasian buku hadis, sangat diperlukan beberapa metode takhrij yang sesuai dengan buku hadis yang diteliti. Ada 5 metode takhrij dalam arti penelusuran hadis dari sumber buku hadis, yaitu:

1.      Takhrij dengan Kata (Takhrij bi Al-Lafzhi)
Pada metode takhrij ini, penelusuran hadis melalui lafal matan hadis, baik dari permulaan, pertengahan, atau akhiran. Maksud takhrij dengan kata adalah takhrij dengan kata benda (kalimah isim) atau kata kerja (kalimah fiil), bukan kata sambung (kalimah huruf) dalam bahasa Arab yang mempunyai asala akar kata 3 huruf. Kata itu diambil dari salah satu bagian dari teks hadis yang mana saja selain kata sambung (kalimah hhuruf), kemudian dicari akar kata akar kata dalam bahasa Arab yang hanya 3 kata: مُسْلِمٌ  misalnya, maka harus dicari asal akar katanya, yaitu dari kata: سَلِمَ setelah itu baru membuka kamus bab س bukan bab م.
Kamus yang diperlukan metode takhrij adalah Kamus Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaazhi Al-Hadits An-Nabawi  yang terdiri dari 8 jilid disusun oleh tim orientalis, salah satunya adalah Arnold John Wensinck (w. 1939 M), Profesor bahasa-bahasa Semit termasuk bahasa Arab di Lieden, Belanda. Untuk kegiatan takhrij dalam arti kegiatan penelusuran hadis dapat diketahui melalui periwayatan dalam kitab-kitab yang ditunjukkan. Lafal-lafal hadis yang dimuat dalam Al-Mu’jam ini bereferensi pada kitab induk hadis sebanyak 9 kitab, yaitu sebagai berikut:
a.       Shahih Al-Bukhari dengan diberi lambang:خ
b.      Shahih Muslim dengan lambang:م
c.       Sunan Abu Daud dengan lambang:د
d.      Sunan At-Tarmidzi dengan lambang:ت
e.       Sunan An-Nasaai dengan lambang:ن
f.       Sunan Ibnu Majah dengan lambang:جه
g.      Sunan Ad-Darimi dengan lambang:دي
h.      Muwatha’ Malik dengan lambang: ط
i.        Musnad Ahmad dengan lambang: حم
Contoh hadis yang ingin di-takhrij adalah:
لا تَدْخُلُونَ الجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَبُّؤا
Pada penggalan teks di atas dapat ditelusuri melalui kata-kata yang digaris bawahi. Andaikata dari kata تَحَبُّؤا dapat dilihat di bab ح  dalam kitab Al-Mu’jam karena itu berasal dari kata حَبَّب. Setelah ditelusuri kata tersebut dapat ditemukan di Al-Mu’jam jiz 1 hlm. 408[1] dengan bunyi:
م إيمان 93، د أدب 131، ت صفة القيامة 54، استئذان 1، جه مقدمة 9، أدب 11، حم 1، 165.
Maksud dari ungkapan di atas adalah:
·         م إيمان 93 = Shahih Muslim kitab imannomor urut 93.
·         د أدب 131 = Sunan Abu Daud dalam kitab  Al-Adab nomor urut 131.

·         ت صفة القيامة 54، استئذان 1 = Sunan At-Tarmidzi dalam kitab  sifah al-qiyaamah nomor urut bab 54 dalam kitab isti’dzan nomor urut bab 1.
·         جه مقدمة 9، أدب 11 = Sunan Ibnu Majah dalam kitab muqaddimah nomor urut bab 9 dan kitab Al-Adab nomor urut bab 11.
·         حم 1، 165  = Musnad Imam Ahmad bin Hambal jiz 1 hlm. 165.
Metode takhrij dengan lafal ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Diantara kelebihannya adalah hadis dapat dicari melalui kata mana saja yang diingat peneliti, tidak harus lafal seluruhnya dan dalam waktu relatif singkat seorang peneliti  akan menemukan hadis yang dicari dalam beberapa kitab hadis. Sedangkan di antara kesulitannya adalah seseorang peneliti harus menguasai ilmu sharaf tentang asal-usul suatu kata.
2.      Takhrij dengan tema (Takhrij bi Al-Mawdhu’)
Arti takhrij kedua ini adalah penelusura hadis yang didasarkan pada topik (mawdhu’), misalnya bab Al-Khaatam, Al-Khaadim, Al-Ghusl, Adh-Dhahiyah, dan lain-lain. Seorang peneliti hendaknya mengetahui topik suatu hadis krmudian ditelusuri melalui kamus hadis tematik. Salah satu kamus hadis tematik adalah Miftah min Kunuuz As-Sunnah oleh Dr. Fuad Abdul Baqi, terjemahan dari aslinya berbahasa Inggris A Handbook of Early Muhammadan karya A. J. Wensink pula. Dalam kamus ini ditemukan berbagai topik, baik yang berkenaan dengan petunjuk-petunjuk Rasulullah maupun berkaitan dengan nama. Untuk setiap topik biasanya disertakan subtopik dan untuk setiap subtopik dikemukakan data hadis dan kitab yang menjelaskannya.
3.      Takhriij dengan Permulaan Matan (Bi Awwal Al-Matan)
Takhriij menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matan dimulai dengan huruf mim maka dicari pada bab mim, jika di awali dengan huruf ba maka di cari pada bab ba, dan seterusnya.
Diantara kelebihan metode ini adalah dapat menemukan hadis yang dicari dengan cepat dan mendapatkan hadisnya secara utuh dan keseluruhan, tidak penggalan saja sebagaimana metode-metode sebelumnya. Akan tetapi, kesulitannya bagi seseorang yang tidak ingat permulaan hadits. Khawatir hadist yang diingat itu sebenarnya penggalan dari pertengahan atau akhiran hadits, bukan permulaannya.
4.      Takhriij Melalui Perawih yang Paling Atas (Bi Ar-Raawi Al-A’laa)
Takhriij ini menelusuri hadits melalui perawi yang paling atas dalam sanad, yaitu dikalangan sahabat (muttashil isnaad) atau taabi’in (dalam hadist mursal). Artinya, peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa sanad-nya di kalangan sahabat atau taabi’in, kemudian dicari dalam buku hadis Musnad atau Al-Athraaf. Di antara kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab Musnad atau Al-Athraaf. Seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Tuhfat Al-Asyraf bi Ma’rifat Al-Athraaf  karya Al-Mizz, dan lain-lain.
Kitab Musnad adalah pengodifikasian hadis yang sistematikannya didasarkan pada nama-nama sahabat atau nama-nama taabi’in sesuai dengan urutan sifat tertentu. Adapun Al-Athraaf adalah kitab hadis yang menghimpun beberapa hadisnya para sahabat atau taabi’in sesuai dengan urutan alphabet Arab dengan menyebutkan sebagian dari lafal hadis.
Cukup banyak kitab Musnad pada awal abad kedua Hijriyah, di antaranya yang sangat populer adalah Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Sesuai dengan masa perkembangannya dan latar belakang penulisannya agar mudah dihafal, beberapa hadis dikelompokkan berdasarkan pada sahabat yang meriwayatkannya. Kitab ini memuat 30.000 hadis, sebagian pendapat 40.000 buah hadis secara terulang-ulang (mukarrar) sebanyak 6 jilid besar. Sistematikanya tidak disesuaikan dengan urutan alphabet Arab, tetapi didasarkan pada sifat-sifat tertentu, yaitu pertama sepuluh orang sahabat Nabi yang digembirakan surga, kemudian musnad sahabat empat, musnad sahabat ahli bait, musnad sahabt-sahabat yang populer, musnad sahabat yang dari Mekkah (Al-Makkiyyiin), dari Syam (Asy-Syaamiyyiin), dari Kufah, Bashrah, sahabat Anshar, sahabat wanita, dan dari Abu Ad-Darda.
Diantara kelebihan metode takhriij ini adalah memberikan informasi kedekatan pembaca dengan pen-takhriij hadis dan kitabnya. Berbeda dengan metode-metode lain yang hanya memberikan informasi kedekatan dengan pen-takriij saja tanpa kitabnya. Sedangkan kesulitan yang dihadapi adalah jika seorang peneliti tidak ingat atau tidak tahu nama sahabat atau tabi’in yang meriwayatkannya, di samping campurnya berbagai masalah dalam satu bab dan tidak terfokus pada satu masalah.
5.      Takhriij dengan Sifat (Bi Ash-Shifah)
Telah banyak disebutkan sebagaimana pembahasan di atas tentang metode takhriij. Seseorang dapat memilih metode mana yang tepat untuk ditentukannya sesuai dengan kondisi orang tersebut. Jika suatu hadis sudah dapat diketahui sifatnya, misalnya Mawdhu’, Shahih, Qudsi, Mursal, Masyhur, Mutawatir, dan lain-lain sebaiknya di-takhrij melalui kitab-kitab yang telah menghimpun sifat-sifat tersebut. Misalnya hadis maudhu’ akan lebih mudah di-takhriij melalui buku-buku himpunan hadis maudhu’ seperti Al-Maudhuu’at karya Ibnu Al-Jauzi, mencari hadis mutawatir takhrij-lah melalui kitab Al-Azhar Al-Mutanaatsirah ‘an Al-Akhbaar Al-Muawaatirah, karya As-Suyuthi, dan lain-lain. Di sana seseorang akan mendapatkan informasi tentang kedudukan suatu hadis, kualitasnya, sifat-sifatnya, dan lain-lain terutama dapat dilengkapi dengan kitab-kitab syarah-nya.
BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Adapun simpulan yang terdapat pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Secara etimologi kata “Takhrij” berasal dari akar kata kharaja – yakhruju – khurujan mendapat tambahan tasydid/syiddah pada ra (’ain fi’il) menjadi: kharraja – yukharriju – takhrijan yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan.
2.     Tujuan pokok dari takhriij yang ingin dicapai seorang peneliti adalah sebagai berikut: Mengetahui eksistensi suatu hadis apakah benar suatu hadis yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadis atau tidak; Mengetahui sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja yang didapatkan; Mengetahui ada beberapa tempat hadis tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku hadis atau dalam beberapa buku induk hadis; Mengetahui kualitas hadis.
3.     Faedah dan manfaat takhriij cukup banyak, di antaranya yang dapat dipetik oleh yang melakukannya adalah sebagai berikut:
a.   Mengetahui referensi beberapa buku hadis.
b.  Menghimpun sejumlah sanad hadis.
c.   Mengetahui keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’)
d.   Mengetahui bagaimana para imam hadis menilai suatu kualitas hadis dan bagaimana kritikan yang disampaikan.
e.   Mengetahui status suatu hadis.
4.      Ada 4 macam metode dalam men-takhriij hadist, yaitu:
a.       Takhrij dengan kata
b.      Takhrij dengan tema
c.       Takhrij dengan permulaan matan
d.      Takhrij melalui perawih yang paling atas

B.       Saran
Dalam makalah ini, masih terdapat kekurangan dan kekeliruan baik dalam struktur kata/kalimat maupun dari penulisan dan tata letak. Oleh karena itu, kritik dan saran kami butuhkan guna untuk perbaikan berikutnya.
Untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam mengenai takhriij hadis, maka kami sarankan untuk membaca literatur dan beberapa referensi untuk menambah wawasan tentang materi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis. Ed. Revisi. Jakarta: Amzah. 2012.
Darul S. Puyu. Metode Takhrij Al-Hadis Menurut Kosa Kata, Tematik dan CD Hadis. Makassar: Alauddin University Press. 2012.