Kala itu (Juli 2011) saya juga bingung, kenapa orang kaku ini bisa terdampar di
tengah-tengah orang hebat seperti mereka. Dengan bekal yang masih sangat kurang
mumpuni untuk menghadapi segelintir serbuan maut dan ribuan pertanyaan tentang
syakl, ma’na, fahm, mahl, dan sekawanannya itu. Ataukan kala itu saya hanya
bermimpi? Entahlah. Bahkan sampai detik ini pertanyaan itu belum bisa saya
syarahkan. Tapi ada hal yang sangat jelas tergambarkan di mimpiku yang satu
ini. Yah itu kenangan dan pengalaman yang tak akan terlupakan. Iya, pengalaman
kalau seorang Nurul yang kaku ini datang ke Kota Daeng dalam keadaan buta. Buta
tentang seluk-beluk dan hiruk-pikuk tentang kota se-ramai itu.
Sebelum berangkat ke kota tujuan Lombok-NTB, para peserta yang dinyatakan
lolos sebagai peserta MUFAKAT IV perwakilan Sulawesi Selatan mengikuti
karantina selama tiga hari di Asrama Haji Sudiang. Selama karantina saya banyak
bergabung dan bercengkrama dengan teman-teman seperjuangan dari berbagai
kabupaten. Beberapa di antara mereka sudah saling mengenal satu sama lain, ada
yang berasal dari satu sekolah, satu daerah, atau kenal dari kegiatan yang
pernah diikuti sebelumnya. Dan saya adalah orang baru yang bergabung dengan
mereka. Mereka baik, cerdas, humoris, dan ada juga yang konyol hahahah.
Sebenarnya kalau boleh jujur, kala itu adalah pertama kalinya saya
melihat langsung pesawat terbang yang sebelumnya saya hanya bisa melihatnya di
tv (kasihan sekali orang yang hidupnya di habiskan di kampung ini yah). Dan hal
itulah yang membuat saya meneteskan air mata karena akhirnya hal yang tak
pernah diduga sebelumnya itu terjadi, iyya saat itu saya naik pesawat dengan cuma-cuma.
Datang ke bandara beserta rombongan dan bawaan rempong, naik pesawat, sampai
deh kota tujuan (singkatnya sih seperti itu). Meskipun hanya transit di
Jakarta, setidaknya saya sudah menginjakkan kaki saya di Jakarta sebelum sampai
ke Lombok. Tapi saya masih sadar kalau saya ini adalah orang kampung. Iya, orang yang lahir di kampung dan besar di kampung.