BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kenyataan
menunjukkan bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, dimana masing-masing
mereka mempunyai kepentingan tersendiri yang kadang dalam emenuhi
kepentingannya itu terdapat pertentangan kehendak antara satu dengan yang
lainnya.
Agar
antara masing-masing individu itu tidak terjadi tindakan yang semau hati
diperlukan suatu aturan permainan hidup secara pasti mengikat menuntun mereka
dalam bertindak. Dengan adanya aturan tersebut, setiap individu tidak merasa
dirugikan kepentingannya atas batas-batas yang layak. Aturan-aturan itulah yang
disebut dengan hukum.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapa pada makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Apakah
yang dimaksud dengan hukum syar’i ?
2.
Apakah
yang dimaksud dengan mahkum fih ?
3.
Apakah
yang dimaksud dengan mahkum bih ?
4.
Apakah
yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih ?
C.
Tujuan
Masalah
Adapun tujuan masalah yang terdapat pada makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Dapat mengetahui tentang pengertian dan pembagian hukum syar’i.
2. Dapat menjelaskan tentang mahkum fih dan pembagiannya.
3. Dapat menjelaskan tentang pengertian mahkum bih dan
pembagiannya.
4. Dapat menjelaskan tentang pengertian mahkum ‘alaih dan
pembagiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Syar’i
1.
Pengertian
Hukum Syar’i
Secara
lughawy (etimologis) syariat berarti jalan ke tempat pengairan atu jalan
yang sesugguhnya harus diturut. Syriat juga berarti tempat yang akan dilalui
untuk mengambil air di sungai.
Kata
syariat terdapat dalam beberapa ayat Al-qur’an seperti dalam surat Al-Maidah
ayat 48, Al-Syura ayat 13, dan Al-Jatsiyah ayat 18, yang pada prinsipnya
mengandung arti “jalan yang jelas membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini,
agama Islam selalu melaluinya dalam kehidupan mereka di dunia. Adapun dari segi
kesamaan antara syariat Islam dengan “jalan air” ( seperti dalam pengungkapan lughawy
di atas) terletak pada bahwa siapa yang mengikuti syriat jiwanya akan mengalir
dan bersih. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan
hewan, sebagaimana ia menjadikan syariat bagi penyebab kehidupan jiwa manusia.
Semula
syariat diartikan sebagai hukum-hukum atau segala aturan yang ditetapkan Allah
buat hamba-Nya untuk ditaati, baik berkaitan dengan hubungan mereka dengan
Allah maupun hubungan antara sesama mereka sendiri. Dengan pengertian semacam
ini, syariat diartikan ‘agama’ sebagaiman disinggung dalam surat Al-Syura ayat
13. Namun kemudian penggunaanya dikhususkan kepada hukum-hukum amaliyah.
Pengkhususan ini dilakukan karena ‘agama’ (samawy) pada prinsipnya
adalah satu, berlaku secara universal dan ajaran aqidahnya pun tidak berbeda
dari rasul yang satu dengann yang lainnya, yaitu tauhid, sedangkakn syariat
hanya berlaku untuk masing-masing umat sebelummnya. Dengan demikian, syariat
lebih khusus dari pengertian agama. Ia adalah hukum amaliyah yang menurt
perbedaan rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian megoreksi dan
atau menasakhkan yang datang lebih dahulu.[1]
Bertkaitan
dengan uraian di atas dan dikaitkan pula dengna pembicaraan kita tentang metode
hukum Islam, maka dapat ditegaskan kembali bahwa yang dimaksud dengan syariat
disni adalah segala aturan Allah yang berkaitan denga amalan manusia yang harus
dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Sedangkan segala hukum atau aturan-aturan
yang berasal dan atua dibangsakan kepada syariat tersebut denga hukum syar’i.
Ahli
ushul fiqh dann ahli fiqh berbeda
pandangna dalam mengartikan hkun syar’i tersebut. Pihak yang pertama,
mendefinisikan hukum syar’i sebagai khitab (titah) Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukalaf yang mengandung tuntutan ,
kebolehan, boleh pilih atau wadha’ (yaiut mengandung ketentuan tentang
ada atau tidaknya sutau hukum). Sedangkan pihak kedua, mendefenisikan
sebagai efek yang dikehendaki oleh titah Allah tentang perbuatan seperti wajib,
haram, dan mubah. Dan melalui pemahamannya terhadap definisi ini ada ulama yang
mengatakan bahwa hukum syar’i itu merupakan koleksi daya upaya para fuqaha
untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.[2]
Bila
diperhatikan definisi-definisi yang ditemukan oleh para ahli di atas, dapat
dikatakan bahwa nash dari pembuat syara’ (Allah dan Rasul-Nya)
itulah, menurut ahli ushul, yang dikatakan hukum syar’i.Sedangkan menurut
ahli fiqh bukan nash itu yang dimaksud denga hukum syar’i
melainkan efek dari kandungan nash itu sendiri.
Umpamanya,
firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 10:
و
اقيموا الصلا ة
“Dan dirikanlah Shalat”.
Ahli ushul fiqh
mengatakan bahwa firman (perintah wajib shalat) itulah yang dikatakan hukum syar’i
berbeda dengan ahli fiqh yang mengatakan bahwa wajib shalatlah yang dikatakakn
hukum syar’i.
2.
Pembagian
Hukum Syar’i
Para ulama membagi hukum syar’i kepada dua bagian; hukum taklifi
dan hukum wadh’i.
a.
Hukum
Taklifi
Yang
dimaksud dengan hukum taklifi adalah hukum syar’i ynag mengandung
tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau
yang mengandung piilihan antara yang dikerjakan atau ditinggalkan.[3]
Hukum
taklifi ini terbagi kepada lima bagian; ijab, nadb, tahrim, karahah,
dan ibadah.[4]
Ijab adalah firman
Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya,
firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 43:
واقيموا
الصلاة وءاتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين
“Dan dirikanlalh shalat, tunaikanlah zakat,
dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku”
Nadb adalah firman
Allah yang menuntut melakukan suatu
perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk
berbuat.Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 282:
يا
ايها الذين ءامنوا اذا تداينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka kamu menuliskannya”.
Kebalikan
dari Ijab, tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak
melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah
dalam surat Al-Maidah ayat 3:
حرمت
عليكم الميتة و الدم و لحم الخنزير
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, dan daging babi”.
Selanjutnya,
karahah adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi berupa anjuran untuk tidak
berbuat. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:
لا
تسا لوا عن اشياء ان تبد لكم تسؤ كم
“Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadammu niscaya menyusahkanmu..”
Sedangkan
ibahah adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
perbuatan. Misalnya, Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 135:
ولا
جناح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita itu dengan sindiran”.
Golongan
Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, yaitu dengan membagi firman yang menuntut melakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab.
Begitu juga firman yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan
pasti kepada dua bagian: tahrim dan karahah tanzih.
Menurut
kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dalil yang qath’i, seperti
dalil Al-qur’an dan Hadis mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun,
bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanni ia dinamakan ijab.
Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil zhanni, ia
disebut karahah tahrim.
Dengan
pembagian seperti di atas, golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi
kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah.
Sekalipun
golongan yang disebut terkhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh
bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima
bagian seperti telah disebut di atas. Kelima macam itu menimbulkan efek
terhadap perbuatan mukallaf dan efek itulah yang dinamakan al-ahkam
al-khamsah oleh ahli fiqh, yaitu wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah.
·
Wajib
Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah segala perbuatan
yang diberi pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa (‘iqab) apabila
meninggalkannya. Misalnya, mengerjakan rukun islam yang lima.
·
Haram
Haram
adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang melakukan akan
disiksa, berdosa, dan yang meninggalkan diberi pahala. Misalnya pencuri,
membunuh, tidak menafikan orang yang menjadi tanggungan, dan lain-lain
sebagainya.
·
Mandub
Mandub adalah segala
perbuatan yang dilakukan akan
mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab).
·
Makruh
Makruh
adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya tidak
mendapat dosa. Misalnya merokok, memakan makanan yang meninggalkan bau yang
tidak sedap, dll.
·
Mubah
Mubah adalah
segala perbuatan yang diberi kebebasan untuk memilihnya, melakukan atau tidak
melakukan. Secara umum, mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz.
b.
Hukum
Wadh’i
Hukum
wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi
adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga
sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Hukum wadh’i terbagi:
·
Sebab
Sebab adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh syar’i
sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum.
·
Syarat
Syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum denga
adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada
pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.
Misalnya, wajib zakat barang perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah
berjalan satu tahun bila – syarat berlakunya satu tahun itu – belum terpenuhi,
zakat itu belum wajib. Namun, dengan adanya syarat – berjalan, satu tahun – itu
saja berjumlah tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau
tidaknya dagangan tersebut senisab.
·
Mani’
Mani’ adalah segala
sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab
hukum.
·
Sah
dan Batal
Secara harfiah, sah berarti
“lepas tanggng jawab” atau “gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala
dan ganjaran di akhirat”. Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan
sesuai dengan yang diperintah syara’. Sebaliknya, batal dapat
diartikan melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan
di akhirat tidak memperoleh pahala.
·
Azimah dan Rukhshah
Azimah adalah peraturan-peraturan
Allah yang asli dan terdiri atas huku-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum
itu berlaku bagi setiap mukalaf dalam semua keadaan dan waktu biasa
(bukan karena darurat atau pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut
belum ada peraturan lain yang mendahuluinya. Misalnya, bangkai –menurut hukum
asalnya- adalah haram dimakan oleh semua orang.
Rukhshah adalah peraturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena adanya
hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan azimah.
B. Mahkum Fih
1.
Pengertian
Mahkum Fih
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah
perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
Maka ijab yang diperoleh dari firman Allah dalam surat Al-Maidah [5]: 1:
يا
يها الذين امنوا اوفوا با لعقود
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu”
Berhubungan
dengan sesuatu dari beberapa perbuatan mukallaf yaitu memenuhi janji
yang hukumnya wajib.
Nadb yang diperoleh dari firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]
: 282:
: 282:
يا
ايها الذين امنوا اذا تد ينتم بد ين الي اجل مسمى فا كتبواه
"Hai orang-oarang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”
Berhubungan
dengan perbuatan mukallaf, yaitu menuliskan utang yang hukumnya sunnat.
Tahrim yang diperoleh dari firman Allah dalam surat Al-An’am [6]: 151:
ولا
تقتلوا اانفس
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa”
Berhubungan
suatu pebuatan dari beberapa perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa
yang hukumnya haram.
Karahah yang diperoleh dari
firman Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah [2]: 267:
وَلَا
تيممموا الخبيث منه تنفقون
“Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
nafkahkan daripadanya”.
Berhubungan
dengan satu perkara dari beberapa perbuatan mukallaf, yaitu menafkahkan
harta yang tidak bersih (al-khabits) hukumnya makruh.
Ibadah yang diperoleh dari firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 184:
فمن
كان منكم مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan”.
Berhubungan
dengan perbuatan mukallaf, yaitu berbuka puasa dalam keadaan sakit atau
dalam perjalanan yang hukumnya mubah.
2.
Syarat-syarat
Mahkum Fih
Allah Swt. tidak akan membebani seorang hamba dengan perbuatan yang
diluar batas kemampuannya. Sebab kalau Allah tetap memberikan beban seperti itu
berarti ia menganiaya hamba-Nya, dan sikap seperti itu mustahil terdapat dalam
zat Allah yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana.
Ulama menyimpulkan tiga syarat untuk sahnya suatu perbuatan
ditaklifkan.
a.
Perbuatan
tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapat melakukannya
sesuai dengan apa yang mereka tuntut. Oleh sebab itu, agar ayat-ayat yang mujmal
dapat dilaksanakan harus ada penjelasan dari Nabi Saw. Ayat اَقِيْمُ الصَّلاَةَ ,
misalnya, tidak menyebutkan cara pelaksanaan shalat dalam Al-qur’an. Untuk itu,
Nabi menjelaskan dalam sabda beliau: صَلّوا كَمَا رَئَيْتُ مُوْنِيْ اُصَلِّي.
Demikian
pula haji, puasa, zakat, dan segala perinyah yang bersifat mujma. Ia
(perintah-perintah itu) tidak dapat ditaklifkan dan mukallaf pun
tidak dapat ditaklif agar mematuhinya, melainkan setelah ada penjelasan.
b.
Harus
diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenang
untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukallaf.
Yang
dimaksud dengan “mengetahui” disini adalah kemungkinan mengetahui, bukan
kenyataan mengetahui. Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akalnya dan sanggp
mengetahui hukum syara’ dengan sendirinya atau dengan menanyakannya kepada
orang lain yang mengetahui maka orang itu
dianggap mengetahui apa yang ditaklifkan tersebut dan
diberlakukan kepadanya hukum dan segala akibatnya.
Oleh
sebab itu, juga orang-orang yang seperti itu tidak dapat diterima alasannya
bahwa ia tida mengetahui adanya hukum tersebut.
c.
Perbuatan
yang ditaklifkan tersebut dinungkinkan terjadi. Artinya, melakukan atau
meninggalkan perbuatan itu berada dalam batas kemampuan si mukallaf. Dan
syarat ketiga ini timbul dari dua hal:
·
Tidak
sah menurut syara’ mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik menurut
zatnya, maupun karena hal lain. Mustahil menurut zatnya adalah sesuatu yang
tidak tergambar adanya pada akal. Misalnya, mewajibkan dan mengharamkan sesuatu
yang tergambar oleh akal adanya, tetapi menurut hukum alam dan kebiasaan pernah
terjadi. Misalnya, menyuruh seseorang terbang tanpa pesawat.
·
Tidak
sah menurut syara’ mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lain
melakukan suatu perbuatan tertentu. Oleh sebab itu, misalnya, tidak dibebankan
kepada seseorang agar kawannya mengerjakan shalat, atau supaya tetangganya
berhenti merokok, tidak mencuri, tidak membeli kupon-kupon undian, dan lain
sebbagaiya. Yang ditaklifkan disini hanya memberi nasehat, menyuruh yang
ma’ruf dan melarang yang munkar.[5]
C.
Mahkum
Bih
1.
Pengertian Mahkum Bih
Sebagian ulama ushul fiqh
menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek hukum.
Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum fih. Bahkan sebagian
ulama lainnya menggunakan istilah mahkum alaih. Sementara sebagian lagi
menggunkana istilah mahkum alaih untuk menunjuk pengertian subjek hukum.
Sementara sebagian ulama ushul fiqh lainnya lagi, menggunakan pula
ketiga istilah tersebut secara bergantian untuk menunjuk pengertian subjek
hukum dan objek hukum. Karena itu, untuk menghindarkan kesulitan pembaca maka
dalam tulisan ini, penulis hanya menggunakan istilah objek hukum. Tentulah yang
dimaksud dengan objek hukum disini adalah objek hukum syara’.
Adapun yang menjadi objek hukum
adalah perbuatan mukallaf, yaitu gerak atau diamnya mukallaf. Dalam hal ini,
yang dapat diberi ketentuan, wajib atau makruh, haram atau mubah, adala
perbuatan mukallaf. Hukum meminum khamar misalnya, adalah haram. Yang diberi
predikat haram, perbuatan meminum khamar, bukan khamar, karena khamar adalah
zat. Dengan demikian, jika timbul pertanyaan: Apa hukum khamar? Maka dapat
diberi jawaban: Khamar tidak ada hukumnya, karena khamar bukan perbuatan.
Tetapi hukum meminum khamar adalah haram karena meminum khamar adalah
perbuatan. Oleh karena itu, setiap kali ditemukan ayat-ayat Al-Qur’an atau
hadis dalam bentuk kalimat secara harfiyah menunjuk pengertian memberi predikat
pada zat, maka harus dipahami bahwa yang dimaksud kalimat itu adalah predikat
perbuatan melakukan atau meninggalkannya. Sebagai contoh, Allah S. W. T.
Berfirman pada surah Al-Baqarah (2): 275:
الذين ياكلون الربوا لا
يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بانهم قالوا انما البيع مثل
الربوا و احل الله البيع و حرم الربوا
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Yang dimaksud dengan halalnya jual
beli dan haramnya riba pada ayat di atas ialah halal melakukan kegiatan jual beli,
dan haram memakan atau mengambil riba.
2. Syarat-syarat
Mahkum Bih
Agar suatu perbuatan mukallaf pantas
diberi predikat salah satu dari hukum taklifi
yang lima, maka perbuatan tersebut mestilah memenuhi beberapa kriteria
persyaratan. Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat
hukum taklifi ialah sebagai berikut.
a. Seorang
mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang memerintahkan atau yang
melarang, dan atau memberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu
perbuatan itu adalah asy-syari’. Karena itu, suatu perintah atau
larangan yang dia memiliki landasan yang jelas, baik langsung maupun tidak
langsung, berasal dari Al-Qur’an atau hadis, tidak dapat diberi predikat hukum taklifi.
b. Suatu
perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau ditinggalkannya,
atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau meninggalkannya, masilah
diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf tersebut. Hukum taklifi
tidak dapat diterapkan kepada perintah atau larangan yang tidak jelas.
Misalnya, pada sura al-baqarah (2).243, Allah S. W. T berfirman:
“Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’.”
Perintah
melaksanakan shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut masih bersifat umum,
dan belum ada perincian tata cara, waktu, jumlah rakaat dan rukun serta
persyaratannya. Semata-mata berdasarkan ayat di atas saja, seorang ukallaf
belum dapat dikenai hukum wajib melaksanakan shalat. Karena itulah Rasulullah
SAW bersabda kemudian memberi contoh dan penjelasan tentang shalat yang
diperintahkan Allah, sehingga stelahjelas perinciannya, barulah kepada
perbuatan mukallaf dapat diberi predikat hukum taklifi, yaitu wajib
melaksanakan shalat.
c. Suatu
perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang melakukannya atau
yang ia bebas memilihnya haruslah dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan
atau meninggalkannya. Sebab, perintah dan laranga Allah SWT adalah untuk
dipatuhi dan demi kemaslahatan mukallaf. Oleh karena itu, Allah SWT tidak
pernah dan tidak akan memerintahkan atau melarang suatu perbuatan yang manusia
tidak mampu mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT pada Surah Al-baqara (2)
286:
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Diberi pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya”.
Demikian
juga firma Allah SWT dalam surah Al-Maaidah (5):6:
“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu.”
Demikian
juga pada surah Al-haj (22):78:
“Dan
dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
Berdasarkan
penegasan ayat-ayat di atas, dan penelitian yang dilakukan ulama terhadap semua
perintah dana larangan yang terdapat dalam al-qur’an dan hadis, yang semuanya
didalam batas-batasa kemampuan manusia, sebagian ulama kemudian membuat rumusan
yang berkaitan denga perintah dan larangan Allah SWT:
“Pembebanan
syara’ terhadap sesuatu yang tidak mampu dikerjakan oleh manusia adalah
mustahil.
D. Mahkum ‘Alaih
1.
Pengertian Mahkum ‘Alaih
Yang
dimaksud dengan mahkum ‘alaih badalah
orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi) yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i.
Atau dengan kata lain, mahkum ‘alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya
menjadi tempat berlakunya hukum Allah.
2.
Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih
Seseorang baru
dianggap layak dibebani hukum taklifi
bilamana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan:
a. Mampu
memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain
minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadis
Rasulullah. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi
itu disebabkan seseorang mempunyai akal yang sempurna. Bilamana diukur
dengan pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi wanita dengan mulainya
menstruasi dan bagi laki-laki mimpi
pertama bersenggama. Namun jika sampai umur lima belas tahun wanita tidak juga
haid dan laki-laki tidak mimpi, maka umur lima belas tahun itu dijadikan batas
umur minimal baligh berakal.
b. Mempunyai
ahliyat al-‘ada, yaitu kecakapan
untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang disebut
sebagai mukalaf, artinya segala
perbuatannya diperhitungkan oleh hukum islam, dan dia diperingatkan untuk
melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan seperti ini baru
dimiliki seseorang secara sempurna bilamana ia baligh berakal dan bebas dari
segala hal yang menjadi penghalang bagi
kecakapan tersebut, seperti dalam keadaan gila, tidur, lupa, terpaksa, dan
lain-lain lagi yang secara panjang lebar dijelaskan dalam buku-buku Ushul Fiqh. Khusus mengenai harta,
kewenangan seseorang baru sianggap sah
di samping sudah baligh berakal juga setelah ada rusyd, yaitu kemampuan
untuk mengendalikan hartanya. Seseorang yang telah mencapai umur baligh
berakalnya, tetapi tidak mampu mengendalikan hartanya, seperti mubazir, tidak dianggap cakap
mengendalikan hartanya dan oleh karena itu ia perlu dibimbing oleh penanggung
jawabnya.