Sabtu, 11 Januari 2014

Al-Ahkam

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kenyataan menunjukkan bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, dimana masing-masing mereka mempunyai kepentingan tersendiri yang kadang dalam emenuhi kepentingannya itu terdapat pertentangan kehendak antara satu dengan yang lainnya.
Agar antara masing-masing individu itu tidak terjadi tindakan yang semau hati diperlukan suatu aturan permainan hidup secara pasti mengikat menuntun mereka dalam bertindak. Dengan adanya aturan tersebut, setiap individu tidak merasa dirugikan kepentingannya atas batas-batas yang layak. Aturan-aturan itulah yang disebut dengan hukum.

B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapa pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan hukum syar’i ?
2.      Apakah yang dimaksud dengan mahkum fih ?
3.      Apakah yang dimaksud dengan mahkum bih ?
4.      Apakah yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih ?

C.       Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah yang terdapat pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Dapat mengetahui tentang pengertian dan pembagian hukum syar’i.
2.      Dapat menjelaskan tentang mahkum fih dan pembagiannya.
3.      Dapat menjelaskan tentang pengertian mahkum bih dan pembagiannya.
4.      Dapat menjelaskan tentang pengertian mahkum ‘alaih dan pembagiannya.




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Hukum Syar’i
1.        Pengertian Hukum Syar’i
Secara lughawy (etimologis) syariat berarti jalan ke tempat pengairan atu jalan yang sesugguhnya harus diturut. Syriat juga berarti tempat yang akan dilalui untuk mengambil air di sungai.
Kata syariat terdapat dalam beberapa ayat Al-qur’an seperti dalam surat Al-Maidah ayat 48, Al-Syura ayat 13, dan Al-Jatsiyah ayat 18, yang pada prinsipnya mengandung arti “jalan yang jelas membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama Islam selalu melaluinya dalam kehidupan mereka di dunia. Adapun dari segi kesamaan antara syariat Islam dengan “jalan air” ( seperti dalam pengungkapan lughawy di atas) terletak pada bahwa siapa yang mengikuti syriat jiwanya akan mengalir dan bersih. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan, sebagaimana ia menjadikan syariat bagi penyebab kehidupan jiwa manusia.
Semula syariat diartikan sebagai hukum-hukum atau segala aturan yang ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk ditaati, baik berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah maupun hubungan antara sesama mereka sendiri. Dengan pengertian semacam ini, syariat diartikan ‘agama’ sebagaiman disinggung dalam surat Al-Syura ayat 13. Namun kemudian penggunaanya dikhususkan kepada hukum-hukum amaliyah. Pengkhususan ini dilakukan karena ‘agama’ (samawy) pada prinsipnya adalah satu, berlaku secara universal dan ajaran aqidahnya pun tidak berbeda dari rasul yang satu dengann yang lainnya, yaitu tauhid, sedangkakn syariat hanya berlaku untuk masing-masing umat sebelummnya. Dengan demikian, syariat lebih khusus dari pengertian agama. Ia adalah hukum amaliyah yang menurt perbedaan rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian megoreksi dan atau menasakhkan yang datang lebih dahulu.[1]
Bertkaitan dengan uraian di atas dan dikaitkan pula dengna pembicaraan kita tentang metode hukum Islam, maka dapat ditegaskan kembali bahwa yang dimaksud dengan syariat disni adalah segala aturan Allah yang berkaitan denga amalan manusia yang harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Sedangkan segala hukum atau aturan-aturan yang berasal dan atua dibangsakan kepada syariat tersebut denga hukum syar’i.
Ahli ushul fiqh dann ahli fiqh berbeda  pandangna dalam mengartikan hkun syar’i tersebut. Pihak yang pertama, mendefinisikan hukum syar’i sebagai khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf yang mengandung tuntutan , kebolehan, boleh pilih atau wadha’ (yaiut mengandung ketentuan tentang ada atau tidaknya sutau hukum). Sedangkan pihak kedua, mendefenisikan sebagai efek yang dikehendaki oleh titah Allah tentang perbuatan seperti wajib, haram, dan mubah. Dan melalui pemahamannya terhadap definisi ini ada ulama yang mengatakan bahwa hukum syar’i itu merupakan koleksi daya upaya para fuqaha untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.[2]
Bila diperhatikan definisi-definisi yang ditemukan oleh para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa nash dari pembuat syara’ (Allah dan Rasul-Nya) itulah, menurut ahli ushul, yang dikatakan hukum syar’i.Sedangkan menurut ahli fiqh bukan nash itu yang dimaksud denga hukum syar’i melainkan efek dari kandungan nash itu sendiri.
Umpamanya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 10:
و اقيموا الصلا ة
Dan dirikanlah Shalat”.
Ahli ushul fiqh mengatakan bahwa firman (perintah wajib shalat) itulah yang dikatakan hukum syar’i berbeda dengan ahli fiqh yang mengatakan bahwa wajib shalatlah yang dikatakakn hukum syar’i.
2.        Pembagian Hukum Syar’i
Para ulama membagi hukum syar’i kepada dua bagian; hukum taklifi dan hukum wadh’i.
a.       Hukum Taklifi
Yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah hukum syar’i ynag mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung piilihan antara yang dikerjakan atau ditinggalkan.[3]
Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian; ijab, nadb, tahrim, karahah, dan ibadah.[4]
Ijab adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 43:
واقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين
Dan dirikanlalh shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku”
Nadb adalah firman Allah yang  menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat.Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 282:
يا ايها الذين ءامنوا اذا تداينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka kamu menuliskannya”.
Kebalikan dari Ijab, tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3:
حرمت عليكم الميتة و الدم و لحم الخنزير
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi”.
Selanjutnya, karahah adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:
لا تسا لوا عن اشياء ان تبد لكم تسؤ كم
Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadammu niscaya menyusahkanmu..”
Sedangkan ibahah adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukallaf  untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 135:
ولا جناح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran”.
Golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, yaitu dengan  membagi firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab. Begitu juga firman yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan pasti kepada dua bagian: tahrim dan karahah tanzih.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dalil yang qath’i, seperti dalil Al-qur’an dan Hadis mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanni ia dinamakan ijab. Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil zhanni, ia disebut karahah tahrim.
Dengan pembagian seperti di atas, golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah.
Sekalipun golongan yang disebut terkhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti telah disebut di atas. Kelima macam itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukallaf dan efek itulah yang dinamakan al-ahkam al-khamsah oleh ahli fiqh, yaitu wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah.
·           Wajib
Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa (‘iqab) apabila meninggalkannya. Misalnya, mengerjakan rukun islam yang lima.
·           Haram
Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang melakukan akan disiksa, berdosa, dan yang meninggalkan diberi pahala. Misalnya pencuri, membunuh, tidak menafikan orang yang menjadi tanggungan, dan lain-lain sebagainya.
·           Mandub
Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan  akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab).
·           Makruh
Makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya tidak mendapat dosa. Misalnya merokok, memakan makanan yang meninggalkan bau yang tidak sedap, dll.
·           Mubah
Mubah adalah segala perbuatan yang diberi kebebasan untuk memilihnya, melakukan atau tidak melakukan. Secara umum, mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz.
b.        Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain  tersebut. Hukum wadh’i terbagi:
·         Sebab
Sebab adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh syar’i sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum.
·         Syarat
Syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum denga adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum. Misalnya, wajib zakat barang perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun bila – syarat berlakunya satu tahun itu – belum terpenuhi, zakat itu belum wajib. Namun, dengan adanya syarat – berjalan, satu tahun – itu saja berjumlah tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya dagangan tersebut senisab.
·         Mani’
Mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum.
·         Sah dan Batal
Secara harfiah, sah berarti “lepas tanggng jawab” atau “gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintah syara’. Sebaliknya, batal dapat diartikan melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan di akhirat tidak memperoleh pahala.
·         Azimah dan Rukhshah
Azimah  adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri atas huku-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap mukalaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut belum ada peraturan lain yang mendahuluinya. Misalnya, bangkai –menurut hukum asalnya- adalah haram dimakan oleh semua orang.
Rukhshah adalah peraturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan azimah.
B.       Mahkum Fih
1.        Pengertian Mahkum Fih
Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i. Maka ijab yang diperoleh dari firman Allah dalam surat Al-Maidah [5]: 1:
يا يها الذين امنوا اوفوا با لعقود
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”
Berhubungan dengan sesuatu dari beberapa perbuatan mukallaf yaitu memenuhi janji yang hukumnya wajib.
Nadb yang diperoleh dari firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]
: 282:
يا ايها الذين امنوا اذا تد ينتم بد ين الي اجل مسمى فا كتبواه
"Hai orang-oarang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”
Berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menuliskan utang yang hukumnya sunnat.
Tahrim yang diperoleh dari firman Allah dalam surat Al-An’am [6]: 151:
ولا تقتلوا اانفس
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa”
Berhubungan suatu pebuatan dari beberapa perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa yang hukumnya haram.
Karahah yang diperoleh dari firman Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah [2]: 267:
وَلَا تيممموا الخبيث منه تنفقون
Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya”.
Berhubungan dengan satu perkara dari beberapa perbuatan mukallaf, yaitu menafkahkan harta yang tidak bersih (al-khabits) hukumnya makruh.
Ibadah yang diperoleh dari firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 184:
فمن كان منكم مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر
Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan”.
Berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berbuka puasa dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan yang hukumnya mubah.
2.        Syarat-syarat Mahkum Fih
Allah Swt. tidak akan membebani seorang hamba dengan perbuatan yang diluar batas kemampuannya. Sebab kalau Allah tetap memberikan beban seperti itu berarti ia menganiaya hamba-Nya, dan sikap seperti itu mustahil terdapat dalam zat Allah yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana.
Ulama menyimpulkan tiga syarat untuk sahnya suatu perbuatan ditaklifkan.
a.       Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapat melakukannya sesuai dengan apa yang mereka tuntut. Oleh sebab itu, agar ayat-ayat yang mujmal dapat dilaksanakan harus ada penjelasan dari Nabi Saw. Ayat  اَقِيْمُ الصَّلاَةَ , misalnya, tidak menyebutkan cara pelaksanaan shalat dalam Al-qur’an. Untuk itu, Nabi menjelaskan dalam sabda beliau:  صَلّوا كَمَا رَئَيْتُ مُوْنِيْ اُصَلِّي.
Demikian pula haji, puasa, zakat, dan segala perinyah yang bersifat mujma. Ia (perintah-perintah itu) tidak dapat ditaklif­kan dan mukallaf pun tidak dapat ditaklif agar mematuhinya, melainkan setelah ada penjelasan.
b.      Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukallaf.
Yang dimaksud dengan “mengetahui” disini adalah kemungkinan mengetahui, bukan kenyataan mengetahui. Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akalnya dan sanggp mengetahui hukum syara’ dengan sendirinya atau dengan menanyakannya kepada orang lain yang mengetahui maka orang itu  dianggap mengetahui apa yang ditaklifkan tersebut dan diberlakukan kepadanya hukum dan segala akibatnya.
Oleh sebab itu, juga orang-orang yang seperti itu tidak dapat diterima alasannya bahwa ia tida mengetahui adanya hukum tersebut.
c.       Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dinungkinkan terjadi. Artinya, melakukan atau meninggalkan perbuatan itu berada dalam batas kemampuan si mukallaf. Dan syarat ketiga ini timbul dari dua hal:
·         Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik menurut zatnya, maupun karena hal lain. Mustahil menurut zatnya adalah sesuatu yang tidak tergambar adanya pada akal. Misalnya, mewajibkan dan mengharamkan sesuatu yang tergambar oleh akal adanya, tetapi menurut hukum alam dan kebiasaan pernah terjadi. Misalnya, menyuruh seseorang terbang tanpa pesawat.
·         Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lain melakukan suatu perbuatan tertentu. Oleh sebab itu, misalnya, tidak dibebankan kepada seseorang agar kawannya mengerjakan shalat, atau supaya tetangganya berhenti merokok, tidak mencuri, tidak membeli kupon-kupon undian, dan lain sebbagaiya. Yang ditaklifkan disini hanya memberi nasehat, menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang munkar.[5]
C.  Mahkum Bih
1. Pengertian Mahkum Bih
            Sebagian ulama ushul fiqh menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek hukum. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum fih. Bahkan sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum alaih. Sementara sebagian lagi menggunkana istilah mahkum alaih untuk menunjuk pengertian subjek hukum. Sementara sebagian ulama ushul fiqh lainnya lagi, menggunakan pula ketiga istilah tersebut secara bergantian untuk menunjuk pengertian subjek hukum dan objek hukum. Karena itu, untuk menghindarkan kesulitan pembaca maka dalam tulisan ini, penulis hanya menggunakan istilah objek hukum. Tentulah yang dimaksud dengan objek hukum disini adalah objek hukum syara’.
            Adapun yang menjadi objek hukum adalah perbuatan mukallaf, yaitu gerak atau diamnya mukallaf. Dalam hal ini, yang dapat diberi ketentuan, wajib atau makruh, haram atau mubah, adala perbuatan mukallaf. Hukum meminum khamar misalnya, adalah haram. Yang diberi predikat haram, perbuatan meminum khamar, bukan khamar, karena khamar adalah zat. Dengan demikian, jika timbul pertanyaan: Apa hukum khamar? Maka dapat diberi jawaban: Khamar tidak ada hukumnya, karena khamar bukan perbuatan. Tetapi hukum meminum khamar adalah haram karena meminum khamar adalah perbuatan. Oleh karena itu, setiap kali ditemukan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis dalam bentuk kalimat secara harfiyah menunjuk pengertian memberi predikat pada zat, maka harus dipahami bahwa yang dimaksud kalimat itu adalah predikat perbuatan melakukan atau meninggalkannya. Sebagai contoh, Allah S. W. T. Berfirman pada surah Al-Baqarah (2): 275:
الذين ياكلون الربوا لا يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بانهم قالوا انما البيع مثل الربوا و احل الله البيع و حرم الربوا              
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
            Yang dimaksud dengan halalnya jual beli dan haramnya riba pada ayat di atas ialah halal melakukan kegiatan jual beli, dan haram memakan atau mengambil riba.
2. Syarat-syarat Mahkum Bih
            Agar suatu perbuatan mukallaf pantas diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang lima, maka perbuatan tersebut mestilah memenuhi beberapa kriteria persyaratan. Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat hukum taklifi ialah sebagai berikut.
a.       Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang memerintahkan atau yang melarang, dan atau memberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan itu adalah asy-syari’. Karena itu, suatu perintah atau larangan yang dia memiliki landasan yang jelas, baik langsung maupun tidak langsung, berasal dari Al-Qur’an atau hadis, tidak dapat diberi predikat hukum taklifi.
b.      Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau meninggalkannya, masilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf tersebut. Hukum taklifi tidak dapat diterapkan kepada perintah atau larangan yang tidak jelas. Misalnya, pada sura al-baqarah (2).243, Allah S. W. T berfirman:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
Perintah melaksanakan shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut masih bersifat umum, dan belum ada perincian tata cara, waktu, jumlah rakaat dan rukun serta persyaratannya. Semata-mata berdasarkan ayat di atas saja, seorang ukallaf belum dapat dikenai hukum wajib melaksanakan shalat. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda kemudian memberi contoh dan penjelasan tentang shalat yang diperintahkan Allah, sehingga stelahjelas perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat diberi predikat hukum taklifi, yaitu wajib melaksanakan shalat.
c.       Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang melakukannya atau yang ia bebas memilihnya haruslah dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Sebab, perintah dan laranga Allah SWT adalah untuk dipatuhi dan demi kemaslahatan mukallaf. Oleh karena itu, Allah SWT tidak pernah dan tidak akan memerintahkan atau melarang suatu perbuatan yang manusia tidak mampu mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT pada Surah Al-baqara (2) 286:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Diberi pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”.
Demikian juga firma Allah SWT dalam surah Al-Maaidah (5):6:
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu.”
Demikian juga pada surah Al-haj (22):78:
“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
Berdasarkan penegasan ayat-ayat di atas, dan penelitian yang dilakukan ulama terhadap semua perintah dana larangan yang terdapat dalam al-qur’an dan hadis, yang semuanya didalam batas-batasa kemampuan manusia, sebagian ulama kemudian membuat rumusan yang berkaitan denga perintah dan larangan Allah SWT:
“Pembebanan syara’ terhadap sesuatu yang tidak mampu dikerjakan oleh manusia adalah mustahil.

D.      Mahkum ‘Alaih
1.        Pengertian Mahkum ‘Alaih
Yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih badalah orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi) yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i. Atau dengan kata lain, mahkum ‘alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah.
2.        Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih
Seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklifi bilamana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan:
a.       Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadis Rasulullah. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi itu disebabkan seseorang mempunyai akal yang sempurna. Bilamana diukur dengan pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi wanita dengan mulainya menstruasi  dan bagi laki-laki mimpi pertama bersenggama. Namun jika sampai umur lima belas tahun wanita tidak juga haid dan laki-laki tidak mimpi, maka umur lima belas tahun itu dijadikan batas umur minimal baligh berakal.
b.      Mempunyai ahliyat al-‘ada, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang disebut sebagai mukalaf, artinya segala perbuatannya diperhitungkan oleh hukum islam, dan dia diperingatkan untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan seperti ini baru dimiliki seseorang secara sempurna bilamana ia baligh berakal dan bebas dari segala hal yang menjadi  penghalang bagi kecakapan tersebut, seperti dalam keadaan gila, tidur, lupa, terpaksa, dan lain-lain lagi yang secara panjang lebar dijelaskan dalam buku-buku Ushul Fiqh. Khusus mengenai harta, kewenangan seseorang baru sianggap sah  di samping sudah baligh berakal juga setelah ada rusyd, yaitu kemampuan untuk mengendalikan hartanya. Seseorang yang telah mencapai umur baligh berakalnya, tetapi tidak mampu mengendalikan hartanya, seperti mubazir, tidak dianggap cakap mengendalikan hartanya dan oleh karena itu ia perlu dibimbing oleh penanggung jawabnya.